Tak Perlu yang Sempurna. Kalian Saja, Cukup




Dengarkan sound untuk pengalaman membaca yang seru!
    


    Setelah melewati waktu-waktu yang cukup rumit, akhirnya sekarang aku bisa berbahagia dan memiliki kelegaan batin yang cukup. Setelah ditinggal pergi dinas oleh orangtuaku dalam jangka waktu yang cukup lama, akhirnya pekan ini mereka terbebas dari semua tanggung jawab itu. Ya, itu lah kedua orang tuaku. Mereka cukup sibuk, apalagi semenjak kelahiran sepasang adik kembarku. Hal itu menuntut mereka untuk mencari uang tambahan agar bisa menghidupi keluarga kami. 
    Aku bukanlah berasal dari keluarga kaya-raya yang bergelimang harta. Bukan pula orang-orang yang biasa berdandan dengan balutan baju-baju mahal dan bermerk. Namun kehidupan kami (Alhamdulillah) tercukupi. Itu yang menjadi motivasiku untuk selalu bersyukur. Aku memiliki anggota keluarga yang masih lengkap beserta kasih sayangnya. Aku memiliki tempat tinggal yang cukup untuk pergerakan dan sirkulasi masing-masing anggota keluargaku. Rumahku memang tidaklah luas, tapi yang pasti di tempat itulah aku tak takut untuk selalu menjadi diri sendiri. Tidak takut untuk menampakan diriku yang tidak sempurna, dan itu Cukup.  Keluarga kami sangat sederhana. Kesederhanaan itu yang membuatku nyaman berada di keluarga ini. Ramai namun hangat, penuh dengan orang-orang yang berbeda pendapat namun nyaman. 
    Kedua orangtuaku adalah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di instansi pemerintahan di kota Jakarta. Mereka termasuk pekerja keras. Setiap pagi sebelum matahari sampai di ufuk, aku selalu menyaksikan mereka yang riuh menyiapkan segala hal yang mereka perlukan untuk bekerja. Tak lupa mereka juga menyiapkan sarapan untuk anak-aanaknya. Tentu aku selalu membantu mereka yang terdengar sangat sibuk. Biasanya jika bukan masa pandemi, mereka bekerja full time hingga petang hari. Senin sampai Jumat kecuali ada tanggal merah dan hari libur nasional. Tak jarang pula di pertengahan sampai akhir tahun mereka sering kali dinas ke luar kota bahkan sampai ke luar negeri.
    Pada saat momen dinas itulah, perananku sebagai anak pertama dalam keluarga lumayan diuji. Jika salah satu dari mereka pergi ke luar kota akulah yang harus memasang badan dan siap sedia mengerjakan tugas-tugas di rumah. Tentu dengan bantuan adik-adikku. Terkadang aku sering kewalahan jika orangtuaku pergi dinas dalam waktu yang bersamaan. Pada waktu itu, aku berharap semoga tubuhku kuat dan aku tidak Down. Terkadang juga ada rasa kekhawatiran ketika mereka pergi. Doa-doa selalu aku panjatkan agar mereka pulang dengan kondisi baik, sehat dan utuh. Ketika mereka menawarkan perihal buah tangan apa yang ku ingin mereka bawakan, aku selalu menjawab "tidak usah" sambil bergumam dalam hati "yang penting kalian sehat dan selamat, itu saja cukup".
    Namun sesibuk apapun mereka, mereka selalu meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Setiap akhir pekan di hari minggu mereka selalu mengajakku dan saudara-saudaraku pergi bertamasya. Entah hanya sekedar belanja bulanan atau keluar makan siang ke tempat makan terdekat hingga terjauh. Menurut mereka, waktu yang mereka habiskan dengan anak-anak (aku dan adik-adikku) tak pernah jadi waktu yang sia-sia. Selalu bermakna.

    Jika kalian bertanya bagaimana hubunganku dengan kedua orangtuaku. Jujur saja aku sangat kesulitan menemukan kata-kata yang sesuai untuk menjawab pertanyaan itu. Namun di tulisan ini aku mencoba untuk membahasakannya dengan kata-kata yang lugas dan agak panjang. 
    
    Sebagai anak pertama di keluarga, aku cukup dekat dalam berkomunikasi dengan kedua orangtuaku dibandingkan dengan adikku yang lain. Kami dengan mudah dapat memahami konteks dari percakapan kami satu sama lain baik aku kepada kedua orangtuaku dan sebaliknya. Biasanya jika ada sesuatu yang orangtuaku keluhkan perihal aku atau adik-adikku, orangtuaku dengan lugas menyampaikan keluhan tersebut kepadaku terlebih dahulu baru kemudian aku sambungkan ke adikku yang lain. Begitu juga jika ada salah satu adikku yang ingin menyampaikan sesuatu yang sekuranya agak sungkan untuk disampaikan, bisanya mereka berkomunikasi denganku terlebih dahulu baru setelah itu aku yang menyampaikannya kepada kedua orangtuaku. Aku tidak tahu apakah kondisi tersebut termasuk sesuatu yang "Spesial" atau pada umumnya anak pertama memang seperti itu.
    Orangtuaku juga sering berkeluh kesah dengan ku. Biasanya selepas aku mengutarakan suatu cerita atau pendapat, mereka tak pernah sungkan mengatakan keluhan-keluhan mereka. Sebagian aku sanggup penanggapi cerita mereka hingga saling berbagi solusi namu sebagian lainnya jujur saja ada cerita mereka yang belum terlalu aku pahami. Jika aku tak bisa memahami atau menanggapi isi cerita mereka, aku hanya diam mendengarkan. Sambil memperhatikanwajah mereka yang letih sehabis bekerja. Wajah yang sudah lama aku kenal kini sedikit berubah. Mulai ada kerutan di tepi bibir merka, kerutan itu mulai nampak pula di kelopak matanya. Mata mereka sudah mulai sayu. Terkadang ayah atau ibuku mulai memakai kacamata ketita menatap wajahku. Rambut dari keduanya sudah mulai memutih berubah kepada warna aslinya. Namun wajah mereka masihlah wajah lembut yang menatapku dengan kasih sayang. Masih wajah yang damai. Ah, aku sayang sekali dengan mereka.
    Satu hal yang mereka tanamkan kepadaku dan adik-adikku. Kesederhanaan dan perasaan cukup. Ibuku pernah bilang, akan sia-sia rasanya jika kita memiliki banyak harta namun tidak memiliki kecukupan batin. Orang bisa mencari uang dimanapun, kapanpun bahkan hingga mereka mampu membeli seisi dunia. Namun jika rasa cukup itu tidak mereka miliki, semua kekayaan tersebut tak ada nilainya sama sekali. Selalu kurang, ingin tambah lagi dan lagi. miliki rasa cukup dulu, baru kita bisa mencari rezeki yang tentunya Allah Ta'alla Ridhai. Perasaan cukup tersebut juga tercermin dan terpancar dari keseharian kedua orangtuaku. Mereka berpenampilan sangat sederhana namun tetap rapi. Ibuku juga sering melakukan ibada shalat fajar dua rakaat sebelum subuh. Alasannya karena dengan melakukan ibadah shalat tersebut, kita bisa memiliki satu dunia dan seisinya, dan itu Cukup.
   Namun terkadang aku dan kedua orangtuaku juga tidak sedekat yang kalian bayangkan. Kalian jangan heran jika berkunjung kerumahku, aku dan orangtuaku hanya diam seribu bahasa. Jangan berekspektasi yang tinggi. Ah aku benci ekspektasi. Ekspektasi pula yang kadang menjauhkan aku dengan kedua orangtuaku. Bisa dibilang mereka memiliki ekspektasi yang cukup tinggi kepadaku. Mulai dari pengerjaan tugas-tugas rumah hingga kepada pendidikan. Mereka pernah berkata "Kalau bisa pendidikan kamu lebih tingga ya, dari kami". Itu juga salah satu alasan yang membuatku memutusan untuk melanjutkan studi S1 (walau berbeda jurusan dengan studi D3 ku). Entah kenapa aku merasa hanya aku yang diberi ekspektasi yang cukup tinggi oleh orangtuaku. Mereka juga masih menganggapku sebagai "Their little girl". Selalu ditanya kapan pulang ketika aku keluar melebihi waktu adzan isya berkumandang entah untuk sekedar main dengan kawan-kawanku atau mengerjakan projek Freelance. Aku sangat paham, mereka melakukan hal itu semata-mata karena kasih sayang yang mereka miliki terhadapku. Terkadang aku berpikir untuk merantau keluar rumah untuk sekedar membuktikan bahwa aku bukanlahh gadis kecil mereka lagi.
    Komunikasi kami juga tidak sesempurna yang kalian bayangkan. Terkadang ada beberapa hal yang aku sembunyikan kepada mereka. Satu atau dua, atau mungkin ratusan. Ah, aku tidak tahu. Aku memilih menyembunyikan hal-hal itu karena aku merasa bisa menyelesaikannya sendiri. Mereka tidak perlu tahu, toh aku sudah besar. Aku juga tidak mau menambah beban mereka. Biarkan aku yang tangani sendiri.
    Aku sangat bersyukur karena memiliki mereka dalam kehidupanku. Ada pepatah mengatakan bahwa kita tak pernah bisa memilih di keluarga mana kita akan dilahirkan. Namun jika aku bisa memilih, aku akan tetap memilih keluarga yang di orangtuai oleh mereka. Terlepas dari segala ketidak sempurnaan yang mereka miliki, mereka adalah orangtua yang luar biasa. Bagiku mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan. Menjagaku dengan baik, merawat, membuaiku dengan sangat apik. Walau diantara kesibukan mereka menafkahi keluargaku, mereka tak pernah menelantarkan aku dan adik-adikku. Mereka selalu memastikan agar seluruh anggota keluarganya berkecukupan. Baik dari segi materi hingga kasih sayang. Tak bosan-bosan aku berkata bahwa aku mencintai mereka dengan segenap hati, jiwa dan ragaku. Mereka adalah panutanku namun semoga ketika aku menjadi orang tua, aku akan jadi orang tua yang lebih baik lagi dari mereka.

Tak perlu Orangtua yang Sempurna. Mereka saja, Cukup.


Sekian, Cherio!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posesif

Ditinggalkan Diri Sendiri

Love is a Game