Pria Bermata Dingin namun Menghangatkan

 Play sound nya untuk mengalaman membaca yang lebih seru!


    Akhir akhir ini saya sedang tidak ada gairah untuk melakukan sesuatu. Hingga orang-orang dirumah mungkin heran kenapa saya yang biasanya garang menjadi semurung ini. Entahlah, ada satu hal yang sedang mengganjal (sebenarnya hal ini selalu mengganjal) belakangan. 

    Jujur saja dunia saya mulai ikut berantakan. Saya hanya ingin mencoba menjabarkan semua yang sedang berlarian dikepala. Sungguh sesak, mereka semua memenuhi semua ruang kosong. Saya bingung harus membahasakannya seperti apa. Yang jelas, saya sedang tidak dalam keadaan baik.

Beberapa penyesalan juga sedang merambat dalam ingatan. “Harusnya saya tidak seangkuh itu,” gumam saya. “harusnya saya jujur kepadanya” “harusnya…..” “harusnya….” Ah, semua sudah terlambat.

    Ingin sesekali saya mengutarakan yang sebenarnya, tentang pria yang akan saya singgung di sepanjang tulisan ini. Tentang bagaimana saya memandang tatapannya yang indah kadang sayu. Namun saya malu, saya takut kalau-kalau dia membaca tulisan saya ini. Yang lebih buruk, dia akan menanyakan tulisan ini perihal siapa kepada saya. Yang paling buruknya lagi, kemudian ia akan memaksa saya untuk jujur tentang apa maksud dari tulisan ini dan hubungan antara  perasaan saya dengan tulisan ini. Tapi ah, masa bodo saya sudah muak menahan semua ini. Saya rasa sedikit banyak harus saya keluarkan.

    Kau tahu, saya selalu kesal ketika saya harus menjabarkan perasaan saya pada pria itu sejelas-jelasnya. Kau tahu, saya tak pernah punya kuasa untuk mendorong semua kata-kata lugas dan jujur, kata-kata yang bisa membuatnya mengerti. Kendati deemikian kenapa yang keluar dari mulut saya selalu kata Ba…Bi…Bu…? Yang kadang membuat ia kesal. (di beberapa kesempatan saya suka melihatnya kesal karena ulah saya, menurutku ia manis saat kesal. Ia selalu manis).

    Lucunya saya juga sering jengkel dibuatnya. Ia sering menanyakan beberapa pertanyaan yang menguras emosi saya. Ya, pertanyaan tentang bagaimana perasaan saya kepadanya, bagaimana rasa ini tumbuh (jujur saja saya juga belum menemukan jawabannya), bagaimana pandangan saya tentangnya dan pertanyaan lain yang memuakkan. Kadang pertanyaan-pernanyaan itu membuat saya pedar sendiri. Maksud saya, dia menanyakan semua itu untuk apa lagi? Kenapa semua pengakuan yang saya berikan tidak pernah cukup baginya. Saya benci harus mengakui semua itu kepadanya, semua pengakuan itu hanya akan membuat saya semakin tenggelam.

    Saya benci jika harus berdebat panjang dengan diri saya sendiri perihal kejujuran ini. Di satu sisi saya ingin sekali membahas, berdialog dan membicarakan semuanya dengan pria itu hingga tuntas, hingga tiada lagi hal yang bisa ia tanyakan kepada saya. Brangkali dengan begitu ia tak akan membuat saya kewalahan dengan pertanyaannya yang mengintimidasi lagi. tapi di sisi lain, saya memilih untuk egois saja. Toh, untuk apa saya jujur jika akhirnya dia tidak pernah peduli. Jika akhirnya semua kejujuran tentang perasaan saya hanya dijadikan bahan "observasi" baginya. Kadang saya juga sering berburuk sangka terhadap pria ini. Saya sempat berpikir bahwa saya hanya dijadikan pelarian. Hanya dijadikan "objek observasi" untuknya agar dia bisa mendapat hal yang ia mau. Tapi tidak, semua pikiran itu saya tepis jauh-jauh. Dia adalah kawan baik saya, tidak mungkin dia melakukan hal itu.

    Saya sering bertanya kepada diri, bagaimana perasaan yang sudah cukup lama tersimpan bisa kembali lagi. Katanya, jika kita jatuh cinta dan cinta ittu membuat kita tersesat, cobalah ibaratkan seperti ini; orang yang sedang kita kagumi itu secara tak sengaja menebar benih, benih itu akan tumbuh seperti apa, tergantung bagaimana kita merawatnya. Semakin kita merawatnya dengan sepenuh hati, benih yang tumbuh akan tumbuh semakin cantik. Begitu juga  sebaliknya. Kemudian saya berpikir dalam-dalam. Selama ini saya tak pernah merasa merawat "benih" yang pria ini tebar di hati saya. Bagaimana bisa benih itu tumbuh? Benih itu tumbuh menjadi ketidak jelasan yang liar dalam belantara. Saat itu saya sampai kepada satu kesimpulan. Mungkin benih yang pria ini tebar adalah belukar!

    Bagian tersedih sekaligus terbaik dalam kisah ini adalah sialnya, hanya saya satu-satunya orang yang merasakan getaran ini. Sementara yang lain tidak, sementara pria itu tidak. Saya yang memang terlalu naif. Saya terlalu buta melihat kebaikannya sebagai perhatian. Padahal ia memang pria yang baik. Maaf saya kacau hari ini, saya merindukan pria itu. Sejadi-jadinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Posesif

Ditinggalkan Diri Sendiri

Love is a Game